Telp. 061-42011979
FKUB Kota Medan Mengadakan Dialog Kerukunan Bersama Akademisi UIN Imam Bonjol Padang

Medan, Senin 13 Oktober 2025—Suasana di ruang pertemuan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Medan terasa hangat ketika dialog kerukunan bersama akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang dimulai.
Forum itu menghadirkan dua narasumber utama, Prof. Dr. Andri Ashadi, M.Ag., Guru Besar Bidang Agama dan Studi Perdamaian, serta Dr. Sefriyono, M.Pd., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama. Keduanya berbicara lugas namun reflektif, membawa suasana diskusi ke arah yang jernih dan argumentatif.
Sejak awal, dialog ini bukan dimaksudkan sebagai seremoni-formal, melainkan upaya memperkuat fondasi kerukunan yang sejatinya tumbuh dari kesadaran sosial. FKUB Kota Medan menggagas kegiatan ini untuk membuka ruang pertukaran gagasan antara akademisi dan praktisi lapangan.
Dalam kesempatan itu, Prof. Andri Ashadi membentangkan hasil risetnya pada tahun 2014 tentang praktik kerukunan dan toleransi beragama di Kota Padang, khususnya di lembaga pendidikan menengah. Riset tersebut mengungkap persoalan yang sangat menarik.
“Kami menemukan beberapa praktik di sekolah yang disinyalir menciderai prinsip kerukunan dan toleransi, yang sebenarnya berangkat dari penafsiran terhadap produk hukum daerah,” tutur Andri.
Salah satu yang disorot ialah Instruksi Wali Kota Padang Nomor 451-442/Binsos-III/2005. Aturan itu memuat ketentuan berpakaian Muslim dan Muslimah bagi siswa yang beragama Islam di berbagai tingkatan sekolah, sementara bagi siswa non-Muslim disebutkan dianjurkan untuk “menyesuaikan”.
Di atas kertas, aturan itu tampak tidak bermasalah. Namun, dalam pelaksanaannya, kata Andri, muncul tafsir yang melebar dari maksud semula. “Kata ‘menyesuaikan’ sering dimaknai bahwa siswa non-Muslim juga harus memakai jilbab,” ujarnya.
Andri menambahkan, di sejumlah sekolah, praktik tersebut sempat diterapkan. Siswa non-Muslim diminta mengenakan jilbab. Padahal, semangat aturan itu sejatinya mendorong rasa hormat terhadap nilai-nilai lokal, bukan menyeragamkan identitas keagamaan.
“Di sinilah pentingnya membaca kebijakan secara utuh dan komprehensif. Bagi siswa non-Muslim, seharusnya cukup menampilkan pakaian yang sopan dan selaras dengan tradisi Minangkabau tanpa harus mengubah identitas keagamaannya, misalnya dengan kerudung non-religius atau pakaian adat yang santun, dapat menjadi bentuk kompromi dan tetap menghormati nilai budaya tanpa menyalahi keyakinan pribadi” jelasnya.
Menurut Andri, penyelesaian persoalan seperti ini menuntut ketegasan tafsir dan komunikasi antarpihak, bukan sekadar revisi aturan. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan masyarakat perlu duduk bersama membangun pemahaman bersama tentang apa yang dimaksud dengan nilai kearifan lokal dan batas toleransi dalam ruang pendidikan.
“Kita tidak boleh membiarkan tafsir tunggal mendominasi tanpa mempertimbangkan keragaman,” ucapnya lagi. Pandangannya mendapat sambutan hangat dari peserta yang hadir, sebagian besar dari kalangan tokoh lintas agama, pengurus FKUB Kota Medan, dan akademisi.

Berbeda dengan Andri yang menyoroti aspek regulasi dan tafsir kebijakan, Dr. Sefriyono menekankan pentingnya peran budaya dalam merekatkan kerukunan. Baginya, kearifan lokal sering kali menjadi perekat sosial ketika agama berpotensi menimbulkan sekat.
“Budaya adalah bahasa bersama yang bisa dipahami oleh siapapun, tanpa harus menyamakan keyakinan,” katanya. Ia menyebut banyak riset di dalam dan luar negeri yang menunjukkan bahwa konflik keagamaan kerap terjadi bukan karena perbedaan iman, melainkan karena ketiadaan ruang budaya yang menampung kebinekaan.
Dalam penjelasannya, Sefriyono juga menyoroti peran kelompok mayoritas yang kerap memegang kendali dalam menentukan norma sosial. Menurutnya, tanggung jawab moral menjaga kerukunan justru berada di tangan mayoritas.
“Toleransi itu harus dimulai dari mereka yang memiliki kekuasaan sosial. Minoritas sering kali tidak memiliki kekuatan untuk menolak ketika diskriminasi terjadi,” ujarnya tegas. Ia menekankan bahwa sikap bijak dan elegan dari kelompok mayoritas adalah kunci bagi terciptanya suasana damai.
Sebagian peserta hanya mengangguk, sebagian lain tampak menimbang-nimbang, seolah menemukan bayang praktik serupa di kotanya. Beberapa wajah menunjukkan keheranan yang jujur, seperti baru tersadar bahwa hal yang tampak sepele selama ini ternyata punya akar nilai yang lebih dalam. Ada pula yang saling bertukar pandang, berbicara lirih, mungkin membandingkan pengalaman mereka di tempat berbeda.
Suasana ruangan menjadi campuran antara renung dan kagum, semacam jeda batin yang jarang muncul dalam forum akademik. Pada titik itu, diskusi tidak lagi sekadar berbagi gagasan, tetapi menjadi cermin yang memantulkan kesadaran kolektif tentang bagaimana nilai, tradisi, dan nalar bisa bertemu dalam wujud yang sederhana namun bermakna.
Ketika forum kembali tenang, Andri dan Sefriyono lalu saling menautkan pandangan. Keduanya sepakat bahwa tradisi dan budaya seharusnya menjadi lokomotif dalam menjaga kerukunan umat beragama.
Di banyak daerah, masyarakat yang berbeda agama ternyata memiliki hubungan sosial yang kuat karena ikatan budaya. Misalnya, adat gotong royong, tradisi musyawarah, dan rasa saling membantu dalam upacara adat masih dijaga oleh berbagai kelompok. “Ketika tradisi menjadi jembatan, perbedaan agama tidak lagi terasa sebagai ancaman,” kata Sefriyono.
Kedua akademisi itu juga menyoroti peran strategis tokoh agama dalam membangun dialog dan edukasi publik. Tokoh agama, kata Andri, bukan hanya penyampai ajaran, tetapi juga penjaga moral sosial yang harus mendorong sikap moderat. “Dialog antariman tidak hanya diperlukan di tingkat elit, tetapi juga di tengah masyarakat. Tokoh agama harus hadir di ruang itu,” ujarnya. FKUB dinilai memiliki posisi penting untuk menjadi penghubung di antara unsur-unsur tersebut.
Selain memberikan pandangan akademis, kedua narasumber juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas lembaga. Menurut Sefriyono, dunia pendidikan dan organisasi sosial keagamaan harus membuka ruang kerja sama konkret, seperti riset bersama, kegiatan lintas iman, dan pendidikan karakter bagi generasi muda. “Kita tidak cukup hanya berdialog. Perlu ada aksi yang menanamkan nilai-nilai kerukunan antarumat beragama di lingkungan pendidikan dan masyarakat,” katanya.
FKUB Kota Medan berkomitmen menindaklanjuti hasil diskusi tersebut melalui forum lanjutan yang akan melibatkan lebih banyak pihak, baik dari unsur tokoh agama, akademisi, maupun masyarakat umum. Langkah ini dimaksudkan agar gagasan yang lahir tidak berhenti pada ruang wacana, melainkan tumbuh menjadi gerakan nyata yang memperkuat kohesi sosial di tengah keberagaman Kota Medan.
“Kami berharap, Medan bisa menjadi contoh kota yang mengedepankan harmoni dalam perbedaan,” ujar Prof. Azhari Akmal Tarigan, Pengurus FKUB Kota Medan, menutup acara dengan nada optimistis. Ucapan itu disambut tepuk tangan hangat, seakan meneguhkan tekad bersama untuk menjaga semangat persaudaraan yang tumbuh dari dialog dan saling pengertian.

Para peserta meninggalkan ruang dialog dengan kesan mendalam. Diskusi itu menegaskan bahwa menjaga kerukunan bukan tugas satu pihak, melainkan hasil kerja bersama berbagai unsur masyarakat. Pun demikian, dibutuhkan kesadaran kolektif dan kebijaksanaan agar perbedaan tidak berubah menjadi jarak; keseimbangan antara praktik beragama, budaya, dan kebijakan publik menjadi tanggung jawab moral yang tak bisa diabaikan. Untuk itu, selama masih ada kemauan untuk bekerjasama, saling mendengar dan memahami, harapan bagi kehidupan yang rukun tetap terbuka. (ATJ)


