Diskusi Akhir Tahun FKUB Kota Medan: Membawa Medan Menuju 10 Besar Kota Toleran, Mungkinkah?

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Medan menggelar Diskusi Akhir Tahun pada Jumat (05/12/2025) dengan mengangkat tema besar: Medan Menuju 10 Besar Kota Toleran, Mungkinkah?

Diskusi ini menjadi ruang bersama untuk menakar posisi toleransi Kota Medan sekaligus merumuskan langkah perbaikan yang lebih konkret dan terukur.

Diskusi dibuka oleh Ketua FKUB Kota Medan, Muhammad Yasir Tanjung, S.Pd.I. Dalam pengantarnya, Yasir menjelaskan alasan pelaksanaan diskusi yang sengaja dilakukan lebih awal di penghujung tahun. Menurutnya, waktu pelaksanaan dipertimbangkan sebagai bentuk penghormatan terhadap saudara-saudara umat Kristiani yang akan memasuki perayaan Natal dan Tahun Baru.

“Sengaja diskusi akhir tahun ini kita gelar di awal, karena kita memahami sebentar lagi saudara kita yang Kristen dan Katolik akan merayakan Natal dan Tahun Baru, sehingga kegiatan ini tidak mengganggu suasana ibadah dan perayaan mereka,” ujarnya.

Lebih jauh, Yasir menegaskan bahwa kerukunan tidak seharusnya dipahami sebatas angka dan peringkat. Bagi FKUB, esensi toleransi justru terletak pada kualitas relasi sosial yang nyata dirasakan masyarakat. “Kita tidak ingin kerukunan hanya menjadi soal angka atau peringkat. Yang kita inginkan adalah kerukunan yang kualitasnya benar-benar hidup dan terasa dalam keseharian warga Kota Medan. Itulah tujuan utama diskusi ini,” tegasnya.

Untuk diketahui, berdasarkan laporan terbaru SETARA Institute tahun 2025, Kota Medan berada pada peringkat ke-48 dari 94 kabupaten/kota dalam Indeks Kota Toleran (IKT). Posisi ini memunculkan pertanyaan: mengapa Medan, sebagai kota besar yang lebih 4 abad dikenal sebagai kota multikultural, belum mampu menembus 10 besar kota paling toleran di Indonesia. Pertanyaan ini menjadi pemantik utama diskusi, terlebih jika dibandingkan dengan kota-kota di sekitar Medan, seperti Pematang Siantar, yang secara konsisten bertengger di jajaran 10 besar IKT.

Untuk membedah persoalan tersebut, FKUB Kota Medan menghadirkan Purjatian Azhar, M.Hum, akademisi dan Dosen Sosiologi Agama UIN Sumatera Utara, sebagai pemantik diskusi. Dalam paparannya, Purjatian Azhar menguraikan sejumlah faktor struktural dan sosial yang menjadi penyebab mengapa Kota Medan belum mampu menembus 10 besar Indeks Kota Toleran.

Menurutnya, persoalan pertama terletak pada aspek regulasi dan kebijakan pemerintah daerah. Hingga saat ini, Medan dinilai belum memiliki regulasi turunan atau peraturan wali kota yang secara khusus dan kuat mengatur perlindungan hak kelompok rentan, minoritas agama, serta kebebasan beragama dan berkeyakinan. Selain itu, belum tersedia instrumen formal yang secara spesifik dirancang untuk mencegah praktik diskriminasi dan intoleransi.

Faktor kedua adalah tindakan pemerintah dalam menangani konflik berbasis agama. Purjatian menilai, penanganan yang dilakukan selama ini cenderung bersifat reaktif dan belum sistemik. Sejumlah kasus rumah ibadah bahkan sempat menjadi sorotan nasional, terutama terkait penolakan kegiatan ibadah oleh kelompok tertentu. Kondisi ini berdampak langsung pada penilaian indikator tindakan pemerintah dalam Indeks Kota Toleran.

Persoalan ketiga berkaitan dengan regulasi sosial di tingkat masyarakat. Ia mencatat masih adanya aksi warga atau kelompok intoleran yang menekan komunitas keagamaan tertentu. Tekanan sosial terhadap kelompok minoritas kerap terjadi meski tidak selalu muncul di ruang media. Situasi ini menunjukkan bahwa intoleransi tidak selalu kasat mata, tetapi tetap memengaruhi rasa aman dan kebebasan beribadah.

Padahal, dari sisi demografi sosial, Kota Medan sebenarnya memiliki modal yang sangat kuat. Medan adalah kota besar dengan tingkat keberagaman tinggi, urbanisasi yang masif, serta sejarah panjang kehidupan multikultural. Namun, modal sosial tersebut belum sepenuhnya terkonversi menjadi kebijakan publik yang inklusif dan harmoni sosial yang berkelanjutan.

Dalam bagian solusi, Purjatian Azhar menawarkan sejumlah langkah strategis. Pertama, memperkuat kebijakan anti-diskriminasi melalui penyusunan Peraturan Wali Kota tentang toleransi dan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ia juga mendorong pembentukan satuan tugas toleransi lintas agama dan pemerintah untuk mediasi cepat, serta penyusunan standar operasional prosedur perizinan rumah ibadah yang transparan dan bebas intervensi kelompok intoleran. Langkah ini dinilai dapat meningkatkan skor indikator regulasi pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan dalam penilaian IKT.

Kedua, reformasi penanganan konflik. Pemerintah daerah perlu bersikap tegas dalam menghentikan aksi massa yang menghalangi ibadah, melakukan penegakan hukum terhadap intimidasi dan tindakan intoleran, serta melibatkan FKUB secara lebih inklusif, tidak terbatas pada representasi elite semata. Kota-kota yang berhasil masuk 10 besar IKT, menurutnya, umumnya memiliki rekam jejak tindakan cepat dan tegas di lapangan.

Ketiga, memperkuat kultur toleransi di tingkat warga. Ini dapat dilakukan melalui kampanye publik seperti “Medan Rumah Bersama”, “Medan Tanpa Kebencian”, atau “Medan Harmony”, program pencegahan radikalisme di sekolah dan kampus, serta dialog lintas iman di kecamatan-kecamatan yang kerap mengalami ketegangan sosial.

Keempat, reformasi kelembagaan FKUB. Purjatian menekankan pentingnya menjaga independensi FKUB dari kepentingan politik atau kelompok tertentu, meningkatkan kuota perwakilan minoritas, serta memastikan proses rekomendasi rumah ibadah berlangsung objektif dan bebas tekanan. Ia mencatat bahwa peningkatan signifikan skor toleransi di beberapa daerah biasanya diawali dengan pembenahan FKUB.

Kelima, penguatan data dan monitoring. Pemerintah Kota Medan didorong untuk menyusun Laporan Toleransi Tahunan versi pemerintah, serta mengumpulkan data yang valid terkait rumah ibadah, konflik, proses mediasi, dan program sosial. Data ini penting agar penilaian lembaga eksternal, termasuk SETARA Institute, dapat dilakukan secara lebih objektif.

Purjatian menegaskan bahwa Kota Medan sejatinya memiliki modal sosial, sejarah multikultural, dan kapasitas pemerintahan yang memadai untuk menjadi salah satu kota paling toleran di Indonesia. Dengan keberanian politik, perbaikan tata kelola yang konsisten, serta kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas agama, target masuk 10 besar Indeks Kota Toleran dinilai realistis dicapai dalam dua hingga tiga tahun ke depan.

Diskusi semakin menghangat ketika sejumlah peserta memberikan tanggapan kritis atas paparan pemantik. Salah satu pandangan yang menarik disampaikan oleh Prof. Muhammad Syukri Albani Nasution. Ia mencontohkan kasus Kota Makassar yang pada tahun 2025 berhasil meraih Harmony Award, sebuah penghargaan tahunan dari Kementerian Agama Republik Indonesia yang diberikan kepada pemerintah daerah dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dinilai aktif dan berkomitmen dalam menjaga harmoni sosial.

Menurut Prof. Syukri, pada tahun yang sama FKUB Kota Makassar bahkan memperoleh penghargaan Harmony Award 2025 kategori FKUB Kinerja Baik atau Terbaik. Penghargaan ini menjadi catatan penting karena untuk pertama kalinya Makassar menerima apresiasi tersebut, sekaligus menjadi simbol keberhasilan pemerintah daerah dan FKUB dalam merawat kerukunan di tengah keberagaman agama dan kepercayaan masyarakatnya.

Namun, Prof. Syukri juga menyoroti, bahwa di saat Makassar memperoleh penghargaan nasional atas praktik kerukunan, Indeks Kota Toleran justru menempatkan Makassar sebagai salah satu kota yang masuk dalam daftar 10 kota dengan tingkat toleransi rendah. Perbedaan hasil ini, menurutnya, menunjukkan adanya perbedaan sudut pandang, metodologi, dan indikator dalam menilai toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Penghargaan berbasis praktik dan kinerja lapangan tidak selalu berbanding lurus dengan penilaian berbasis indeks dan data kuantitatif.

Menanggapi hal tersebut, Prof. Azhari Akmal Tarigan memberikan refleksinya. Ia menegaskan bahwa kerukunan tidak boleh direduksi menjadi semata-mata persoalan angka, peringkat, atau statistik. Indeks dan penghargaan memang penting sebagai alat ukur dan evaluasi kebijakan, tetapi substansi kerukunan terletak pada sikap, perilaku, dan rasa saling menghormati yang hidup dalam masyarakat.

“Apapun indikatornya, menjaga kerukunan adalah kewajiban sosial kita bersama. Kerukunan bukan hanya untuk memenuhi standar penilaian lembaga tertentu, melainkan untuk memastikan bahwa setiap warga merasa aman, dihormati, dan diakui haknya dalam kehidupan bersama,” tegasnya. Menurut Prof. Akmal, tantangan terbesar justru bagaimana menjadikan nilai toleransi sebagai etos sosial yang mengakar, bukan sekadar capaian administratif.

Sebagai penutup diskusi, Prof. Azhari Akmal Tarigan menegaskan kembali komitmen FKUB Kota Medan untuk terus merawat ruang dialog dan memperkuat kebersamaan di tengah keberagaman masyarakat. Ia juga menyampaikan ucapan selamat Natal dan Tahun Baru kepada saudara-saudara umat Kristiani yang akan merayakannya. Ucapan tersebut tidak sekadar bersifat seremonial, melainkan menjadi wujud nyata bahwa kerukunan di Kota Medan dibangun di atas semangat saling menghormati, empati, serta solidaritas lintas iman yang terus dijaga dan dipelihara bersama. (ATJ)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *