Belajar dari Kota Toleran: Bendahara FKUB Kota Medan Melakukan Studi Tiru ke FKUB Kota Manado

Manado, 8 November 2025—Bendahara FKUB Kota Medan, Prof. Dr. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag., melakukan kunjungan kerja ke FKUB Kota Manado, Sulawesi Utara, pada 6–8 November 2025.

Kunjungan kerja ini merupakan bagian dari program studi tiru FKUB Kota Medan untuk memperkuat kapasitas kelembagaan serta meneguhkan upaya merawat keharmonisan antarumat beragama di Kota Medan. Karena itu, FKUB Kota Medan memandang perlu belajar dari pengalaman dan pola kerja FKUB Kota Manado dalam menjaga kerukunan di kota yang dikenal sebagai salah satu wilayah paling toleran di Indonesia.

Prof. Akmal menyampaikan bahwa Kota Manado dipilih karena memiliki pengalaman panjang dalam menjaga kerukunan dan toleransi antarumat beragama. Predikat “kota toleran” yang melekat pada Manado bukan hanya hasil kebijakan pemerintah, tetapi juga buah dari kesadaran masyarakat yang terbiasa hidup berdampingan secara harmonis.

“Kami ingin mengetahui bagaimana FKUB Kota Manado menjalankan perannya dalam menciptakan suasana yang rukun, serta apakah terdapat regulasi atau kebijakan yang mendukung hal itu,” ujar Prof. Akmal.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Akmal juga mempelajari aspek regulatif yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan proses rekomendasi pembangunan rumah ibadah. Menurutnya, setiap daerah memiliki kebijakan dan pendekatan yang berbeda, dan hal itu penting untuk menjadi bahan perbandingan bagi FKUB Kota Medan.

Selain aspek kebijakan, kunjungan kerja ini juga difokuskan pada upaya-upaya konstruktif dan inovatif yang dilakukan FKUB Kota Manado dalam membangun ekosistem kerukunan. Prof. Akmal menilai, apa yang dilakukan FKUB Manado dapat menjadi inspirasi bagi FKUB Medan dalam mengembangkan pola kerja yang sesuai dengan nilai dan kearifan lokal masyarakat Medan.

“Kami datang untuk belajar, tidak hanya tentang aturan, tetapi juga tentang semangat dan nilai-nilai kebersamaan yang hidup di tengah masyarakat Manado,” ujar Prof. Akmal.

Selama berada di Manado, Prof. Akmal disambut langsung oleh jajaran pengurus FKUB Kota Manado, yaitu Ketua FKUB Kota Manado Pdt. Handrie Dengah, M.Th., Wakil Ketua Ustaz H. Hamzah Latif, serta anggota Dr. I Dewa Ketut Gianyar, M.Pd. dan Pdt. Ade Karouw, M.A.
Pertemuan berlangsung hangat dan penuh keakraban, diwarnai dialog terbuka yang membicarakan berbagai hal seputar kerukunan umat beragama, baik di Kota Manado maupun di Kota Medan.

Dalam keterangannya, Prof. Akmal menyampaikan bahwa kunjungan ke FKUB Manado memberikan banyak pelajaran berharga. Ia menjelaskan bahwa Kota Manado ternyata belum memiliki peraturan daerah yang secara khusus mengatur tentang kerukunan umat beragama atau proses pendirian rumah ibadah.

“Kendati belum memiliki peraturan yang menopang ekosistem kerukunan umat beragama, Kota Manado tetap terkenal dengan kerukunannya,” ujarnya.

Saat ini FKUB Kota Manado sedang mempersiapkan naskah akademik sebagai tahap awal penyusunan peraturan daerah tersebut.

“Namun yang menarik, walaupun regulasi formal belum tersedia, masyarakat Kota Manado tetap mampu menjaga keharmonisan antarumat beragama,” jelas Prof. Akmal.

Ia menambahkan, “Mereka ini unik. Tanpa regulasi yang mengikat, mereka tetap rukun dan hidup damai. Itu artinya, kerukunan tidak hanya ditopang oleh aturan, tetapi juga oleh budaya dan nilai hidup yang dipegang bersama.”

Dalam dialog yang berlangsung selama kurang lebih dua jam, Prof. Akmal juga menyoroti hasil Indeks Kota Toleran (IKT) yang dikeluarkan oleh Setara Institute, di mana Kota Manado sempat menduduki peringkat kedua sebagai kota paling toleran di Indonesia, meskipun kemudian turun ke peringkat sembilan.

“Meski demikian, mereka masih berada di sepuluh besar kota paling toleran di Indonesia. Bagi mereka, toleransi bukan sekadar angka, tapi praktik hidup sehari-hari,” ujar Prof. Akmal.

Menurutnya, ada perbedaan perspektif antara kondisi lapangan dan cara Setara Institute melakukan penilaian.

“Kalau salah satu indikatornya adalah keberadaan regulasi, maka Manado memang belum memilikinya. Tapi kalau ukuran toleransi adalah sikap dan perilaku sosial masyarakatnya, maka Manado justru menjadi contoh hidup bagaimana kerukunan itu dijaga tanpa banyak aturan tertulis,” ungkapnya.

Filosofi Kerukunan

Prof. Akmal mengungkapkan kekagumannya terhadap falsafah hidup masyarakat Manado yang menjadi dasar kuat bagi terciptanya kerukunan.

“Kekuatan Kota Manado dalam membangun kerukunan adalah nilai-nilai filosofis kehidupan mereka yang menjunjung tinggi persaudaraan. Mereka punya istilah ‘Torang Samua Basudara‘. Artinya, kita semua bersaudara. Itu bukan sekadar semboyan, tapi menjadi cara berpikir dan cara hidup masyarakatnya,” katanya.

Nilai persaudaraan itu membuat masyarakat Manado saling menjaga harmonisasi yang telah terbangun sejak lama.

“Mereka hidup dalam semangat saling menghormati tanpa melihat perbedaan suku, agama, atau ras. Bagi mereka, yang penting adalah persaudaraan,” tambahnya.

Selain itu, masyarakat Manado juga memiliki falsafah hidup yang diwariskan dari leluhur dan terus dipegang kuat hingga kini. Salah satunya diajarkan oleh tokoh besar Sulawesi Utara, Dr. G.S.S.J. Ratulangi atau Sam Ratulangi, melalui ungkapannya yang terkenal, “Si tou timou tumou tou,” yang berarti manusia hidup untuk memanusiakan orang lain.

“Falsafah inilah yang menjadi fondasi sosial mereka dan membuat hubungan antarumat beragama tetap hangat dan harmonis,” ujar Prof. Akmal.

Selama di Manado, Prof. Akmal juga mengamati bahwa masyarakat di sana memiliki ruang sosial dan dialog yang sangat terbuka. Warga dari berbagai latar belakang agama dan etnis sering berinteraksi dalam berbagai kegiatan sosial, budaya, maupun keagamaan.

“Yang membuat mereka kuat adalah komunikasi yang hidup. Mereka terbiasa bertemu, berbicara, dan mendiskusikan banyak hal. Bahkan ketika tidak ada masalah, mereka tetap berdialog. Itulah yang membuat mereka kokoh,” ujarnya lagi.

Dalam kunjungan tersebut, Prof. Akmal juga menemukan hal menarik yang jarang ditemui di daerah lain. Sebelum adanya FKUB, di Manado sudah berdiri sebuah lembaga bernama Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) sejak tahun 1965.

“Lembaga ini sudah ada jauh sebelum FKUB terbentuk secara nasional. Awalnya didirikan oleh pemerintah daerah sebagai respons untuk mengatasi sisa-sisa ketegangan sosial pascaperistiwa politik 1965,” jelasnya.

Kehadiran FKUB kemudian memperkuat peran tersebut. Hingga kini, kedua lembaga itu — BKSAUA dan FKUB—bekerja sama erat dalam menjaga kerukunan dan menyelesaikan potensi konflik sosial yang muncul di tengah masyarakat.

“Segala hal yang berpotensi menimbulkan konflik biasanya diselesaikan bersama oleh dua lembaga ini dengan dukungan penuh dari pemerintah daerah,” tutur Prof. Akmal.

Di akhir pertemuan, Prof. Akmal menyampaikan bahwa pengalaman dari Kota Manado memberikan banyak inspirasi bagi FKUB Kota Medan. Ia menekankan pentingnya menggali nilai-nilai lokal yang dimiliki oleh masyarakat Medan sebagai dasar membangun kerukunan.

“Yang perlu kita lakukan di Medan adalah menggali budaya, tradisi, adagium, dan filosofi hidup masyarakat Medan sendiri. Kita pasti punya nilai-nilai luhur yang bisa dijadikan pegangan bersama,” ungkapnya.

Menurutnya, setiap daerah memiliki kearifan lokal yang bisa menjadi kekuatan sosial. “Kalau Manado punya ‘Torang Samua Basudara,’ maka kita di Medan juga bisa membangun semboyan dan kesadaran serupa berdasarkan nilai budaya kita sendiri,” ujarnya.

Menutup keterangannya, Prof. Akmal menegaskan bahwa kerukunan umat beragama tidak hanya ditopang oleh regulasi, tetapi oleh kesadaran dan keikhlasan masyarakat dalam menjaga harmoni.

“Regulasi itu penting, tapi yang lebih penting adalah hati dan komitmen bersama. Kerukunan adalah hasil dari rasa saling menghormati yang tumbuh dalam keseharian. Semoga semangat persaudaraan yang kami lihat di Manado bisa kita hadirkan juga di Medan, karena pada akhirnya kita semua bersaudara,” pungkas Prof. Akmal. (ATJ)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *